Departemen Dalam Negeri
melalui Direktorat Tata Guna Tanah,
telah menyusun konsep Wilayah Tanah
Usaha (WTU) atau ekonomi
tanah. Konsep itu dapat dirumuskan
sebagai suatu kerangka fisik yang
berasal dari pengembangan tata guna
tanah di Indonesia.
Pada dasarnya,
komponen-komponen yang tercakup dalam konsep
lereng
yang diperuntukkan untuk tanah usaha adalah 40%. Lereng yang
lebih tinggi dari batas ini seharusnya
dihindari untuk beberapa aktivitas
pembangunan atau penggunaannya terbatas.
Batas-batas untuk
ketinggian terletak antara 5–1000 meter di atas permukaan
air laut dengan beberapa alasan utama
yaitu sebagai berikut.
a. Di daerah tropis (kecuali untuk
beberapa jenis tanaman khusus),
vegetasi tropis tumbuh dengan baik di
antara ketinggian tempat
5–1000 meter di atar permukaan laut.
b. Daerah dengan ketinggian lebih dari
1000 meter difungsikan sebagai daerah
tangkapan air (aquifer recharges)
dan untuk tanaman nontropis.
c. Daerah dengan ketinggian kurang dari
5 meter biasanya merupakan
daerah
luapan air, berawa atau daerah pantai.
Aspek-aspek
kependudukan berfungsi sebagai komponen sosial karena
pertumbuhan penduduk sejalan dengan
berjalannya skala waktu. Oleh karena
itu, kerangka pemikiran pembangunan yang
ada dapat mengakomodasi tahaptahap
evolusi yang sejalan dengan
kecenderungan tersebut.
Konsep-konsep WTU
diterapkan pada daerah-daerah pertanian yang
mendasarkan kehidupannya pada kegiatan
ekonomi. Aktivitas-aktivitas
di bidang pertanian cukup dominan di
Indonesia di mana sebagian besar
masyarakatnya tinggal di pedesaan dengan
pertanian sebagai aktivitas
dan mata pencarian utama mereka.
Tahap-tahap evolusi pertanian di
Indonesia digambarkan dalam sebuah skema yang
meliputi 9 tahap.
Tahap A ke
C dari skema tersebut, memperlihatkan sistem pertanian
pada tahap dini. Contohnya, tidak
seorang pun hidup di daerah tahap A.
Ketika kelompok pendatang pertama
menemukan tempat subur, mereka
mulai membuka beberapa daerah dan mulai
mengerjakan perladangan
berpindah, seperti terlihat di tahap B.
Secara fisik, tahap
B terletak di daerah sekitar 250 meter di atas
permukaan
air laut dengan lereng-lereng rendah.
Dalam kaitan dengan tahap A dan B,
diagram menunjukkan awal
pengembangan tata ruang dengan suatu
jumlah penduduk yang relatif
masih terbatas. Meskipun perkembangan
sosial penduduk mungkin telah
menimbulkan kerugian, tetapi pada tahap
ini dampak lingkungan belum
menunjukkan kerugian berarti. Masyarakat
masih merasa lahan tersedia
dengan luas sehingga perladangan
berpindah masih sangat memungkinkan
untuk dilakukan.
Pada tahap C,
jumlah penduduk mulai menunjukkan peningkatan. Sebagai
konsekuensinya areal pemukiman penduduk
pun mengalami perluasan. Beberapa
penduduk, di antaranya mulai
memperkenalkan cara bercocok tanam dengan
teknik sederhana, dalam waktu penanaman
sekali setahun.
Dalam tahap D,
di beberapa daerah yang menanam padi panen tunggal
telah berkembang menjadi penanaman
ganda. Secara tidak langsung, hal ini
menunjukkan manfaat dari sistem irigasi.
Kebun campuran menggunakan
sebagian dari lahan-lahan perladangan
berpindah, juga meluas ke lahan-lahan
pegunungan yang lebih tinggi.
Pada diagram tersebut
dapat terlihat kegiatan yang semakin meningkat.
Sumber daya tanah yang terbatas memaksa
masyarakat untuk mengembangkan
pengetahuan dan teknologi yang
dimilikinya. Hasilnya berupa sistem irigasi
yang mulai di terapkan dalam pertanian.
Panen dapat dilakukan dua sampai tiga
kali dalam setahun merupakan suatu bukti
keuntungan dari inovasi teknologi
dalam bidang pertanian. Walaupun ada
keuntungan seperti itu, kebutuhan
akan lahan masih terus dibutuhkan. Ini menyebabkan
beberapa daerah hutan
diubah menjadi tempat daerah perladangan
berpindah.
Pada tahap E dari
skema, hutan yang sebelumnya terletak di daerah
dataran rendah beralih menjadi lahan
sawah basah. Secara umum wilayah
penanaman padi telah meluas. Daerah ini
biasanya dikenal dengan wilayah
yang berpenduduk padat.
Dinamika perluasan
daerah terus meluas sebagai akibat semakin banyaknya
keperluan-keperluan hidup yang harus
segera dipenuhi. Kondisi ini berimbas pada
pengolahan lahan yang semakin intensif
dan meluas ke lahan-lahan hutan.
Tahap F adalah
kelanjutan dari tahap E. Praktik perladangan berpindah
sudah mulai berkurang karena
meningkatnya kebun-kebun campuran
dan terbatasnya lahan yang tersedia.
Tipe-tipe kebun campuran terdiri atas
sayuran dan buah-buahan, dan tanaman
pangan musim pendek.
Konflik-konflik
antarmasyarakat di sekitar daerah itu mulai ber munculan,
berupa perselisihan atas tanah untuk
kepentingan usaha selain pertanian. Peralihan
wilayah yang berhubungan dengan hak
ulayat dan status kepemilikan
perorangan dapat menimbulkan masalah
sosial yang lebih serius terhadap
lingkungan.
Tahap berikutnya menunjukkan penurunan
kualitas lingkungan. Di dalam
Tahap G,
perladangan berpindah telah secara menyeluruh beralih ke kebunkebun
campuran.
Tahap H menunjukkan
jumlah penduduk mengalami peningkatan
dan berimbas kepada berkurangnya lahan
hutan. Selanjutnya, lahan
pantai pun sudah mulai digunakan untuk
lahan garapan pertanian.
Tahap I dari
skema menunjukkan keterbatasan sumber daya
lingkungan alam. Dengan kata lain,
terdapat keterbatasan terhadap daya
dukung biosfer. Kualitas dan kuantitas
hutan berkurang secara drastis
dan
tidak urung pula menimbulkan degradasi lahan hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar