Rabu, 07 Agustus 2013

Penggunaan Tanah Pedesaan


Departemen Dalam Negeri melalui Direktorat Tata Guna Tanah,
telah menyusun konsep Wilayah Tanah Usaha (WTU) atau ekonomi
tanah. Konsep itu dapat dirumuskan sebagai suatu kerangka fisik yang
berasal dari pengembangan tata guna tanah di Indonesia.
Pada dasarnya, komponen-komponen yang tercakup dalam konsep
WTU adalah faktor lereng, ketinggian, dan penduduk. Batas untuk faktor
lereng yang diperuntukkan untuk tanah usaha adalah 40%. Lereng yang
lebih tinggi dari batas ini seharusnya dihindari untuk beberapa aktivitas
pembangunan atau penggunaannya terbatas.

Batas-batas untuk ketinggian terletak antara 5–1000 meter di atas permukaan
air laut dengan beberapa alasan utama yaitu sebagai berikut.
a. Di daerah tropis (kecuali untuk beberapa jenis tanaman khusus),
vegetasi tropis tumbuh dengan baik di antara ketinggian tempat
5–1000 meter di atar permukaan laut.
b. Daerah dengan ketinggian lebih dari 1000 meter difungsikan sebagai daerah
tangkapan air (aquifer recharges) dan untuk tanaman nontropis.
c. Daerah dengan ketinggian kurang dari 5 meter biasanya merupakan
daerah luapan air, berawa atau daerah pantai.
Aspek-aspek kependudukan berfungsi sebagai komponen sosial karena
pertumbuhan penduduk sejalan dengan berjalannya skala waktu. Oleh karena
itu, kerangka pemikiran pembangunan yang ada dapat mengakomodasi tahaptahap
evolusi yang sejalan dengan kecenderungan tersebut.
Konsep-konsep WTU diterapkan pada daerah-daerah pertanian yang
mendasarkan kehidupannya pada kegiatan ekonomi. Aktivitas-aktivitas
di bidang pertanian cukup dominan di Indonesia di mana sebagian besar
masyarakatnya tinggal di pedesaan dengan pertanian sebagai aktivitas
dan mata pencarian utama mereka. Tahap-tahap evolusi pertanian di

Indonesia digambarkan dalam sebuah skema yang meliputi 9 tahap.
Tahap A ke C dari skema tersebut, memperlihatkan sistem pertanian
pada tahap dini. Contohnya, tidak seorang pun hidup di daerah tahap A.
Ketika kelompok pendatang pertama menemukan tempat subur, mereka
mulai membuka beberapa daerah dan mulai mengerjakan perladangan
berpindah, seperti terlihat di tahap B.
Secara fisik, tahap B terletak di daerah sekitar 250 meter di atas
permukaan air laut dengan lereng-lereng rendah.
Dalam kaitan dengan tahap A dan B, diagram menunjukkan awal
pengembangan tata ruang dengan suatu jumlah penduduk yang relatif
masih terbatas. Meskipun perkembangan sosial penduduk mungkin telah
menimbulkan kerugian, tetapi pada tahap ini dampak lingkungan belum
menunjukkan kerugian berarti. Masyarakat masih merasa lahan tersedia
dengan luas sehingga perladangan berpindah masih sangat memungkinkan
untuk dilakukan.
Pada tahap C, jumlah penduduk mulai menunjukkan peningkatan. Sebagai
konsekuensinya areal pemukiman penduduk pun mengalami perluasan. Beberapa
penduduk, di antaranya mulai memperkenalkan cara bercocok tanam dengan
teknik sederhana, dalam waktu penanaman sekali setahun.
Dalam tahap D, di beberapa daerah yang menanam padi panen tunggal
telah berkembang menjadi penanaman ganda. Secara tidak langsung, hal ini
menunjukkan manfaat dari sistem irigasi. Kebun campuran menggunakan
sebagian dari lahan-lahan perladangan berpindah, juga meluas ke lahan-lahan
pegunungan yang lebih tinggi.
Pada diagram tersebut dapat terlihat kegiatan yang semakin meningkat.
Sumber daya tanah yang terbatas memaksa masyarakat untuk mengembangkan
pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Hasilnya berupa sistem irigasi
yang mulai di terapkan dalam pertanian. Panen dapat dilakukan dua sampai tiga
kali dalam setahun merupakan suatu bukti keuntungan dari inovasi teknologi
dalam bidang pertanian. Walaupun ada keuntungan seperti itu, kebutuhan
akan lahan masih terus dibutuhkan. Ini menyebabkan beberapa daerah hutan
diubah menjadi tempat daerah perladangan berpindah.
Pada tahap E dari skema, hutan yang sebelumnya terletak di daerah
dataran rendah beralih menjadi lahan sawah basah. Secara umum wilayah
penanaman padi telah meluas. Daerah ini biasanya dikenal dengan wilayah
yang berpenduduk padat.
Dinamika perluasan daerah terus meluas sebagai akibat semakin banyaknya
keperluan-keperluan hidup yang harus segera dipenuhi. Kondisi ini berimbas pada
pengolahan lahan yang semakin intensif dan meluas ke lahan-lahan hutan.
Tahap F adalah kelanjutan dari tahap E. Praktik perladangan berpindah
sudah mulai berkurang karena meningkatnya kebun-kebun campuran
dan terbatasnya lahan yang tersedia. Tipe-tipe kebun campuran terdiri atas
sayuran dan buah-buahan, dan tanaman pangan musim pendek.
Konflik-konflik antarmasyarakat di sekitar daerah itu mulai ber munculan,
berupa perselisihan atas tanah untuk kepentingan usaha selain pertanian. Peralihan
wilayah yang berhubungan dengan hak ulayat dan status kepemilikan
perorangan dapat menimbulkan masalah sosial yang lebih serius terhadap
lingkungan.
Tahap berikutnya menunjukkan penurunan kualitas lingkungan. Di dalam
Tahap G, perladangan berpindah telah secara menyeluruh beralih ke kebunkebun
campuran.
Tahap H menunjukkan jumlah penduduk mengalami peningkatan
dan berimbas kepada berkurangnya lahan hutan. Selanjutnya, lahan
pantai pun sudah mulai digunakan untuk lahan garapan pertanian.
Tahap I dari skema menunjukkan keterbatasan sumber daya
lingkungan alam. Dengan kata lain, terdapat keterbatasan terhadap daya
dukung biosfer. Kualitas dan kuantitas hutan berkurang secara drastis
dan tidak urung pula menimbulkan degradasi lahan hutan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar